banner 1024x768
advBerauBeritaDPRD Berau

Menjaga Warisan Leluhur: 2.000 Hektare Tanah Adat Dayak Petung Diperjuangkan untuk Diakui

×

Menjaga Warisan Leluhur: 2.000 Hektare Tanah Adat Dayak Petung Diperjuangkan untuk Diakui

Sebarkan artikel ini
(Irfan/Harapanpost.com).

BERAU, HARAPANPOST.COM – DPRD Kabupaten Berau menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait permintaan Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Adat Dayak (Petung) Selekop, yang berlokasi di Kampung Biatan Lempake, Kecamatan Biatan, Kabupaten Berau. Rapat tersebut berlangsung di Ruang Gabungan DPRD Berau, Jalan Gatot Subroto, Tanjung Redeb, pada Senin (07/07/2025) Siang.

Dalam rapat ini, masyarakat adat Dayak (Petung) Selekop menyampaikan aspirasi agar pemerintah memberikan perlindungan dan pengakuan hukum terhadap tanah adat mereka seluas kurang lebih 2.000 hektare. Lahan tersebut diduga telah sebagian digarap oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit tanpa persetujuan dari masyarakat adat.

Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua II DPRD Berau, Sumadi, dan dihadiri oleh sejumlah anggota DPRD Berau, Asisten I Setda Berau, Kepala Dinas Pertanahan (Distanah) Berau, Camat Biatan, Kepala Bagian Hukum Setda Berau, Kepala Kampung Biatan Lempake, Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Kampung Biatan Lempake, serta perwakilan Lembaga Adat Dayak (Petung) Selekop.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua II DPRD Berau, Sumadi menyampaikan bahwa DPRD sangat mengapresiasi inisiatif masyarakat adat untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Ia menyatakan bahwa sebagian lahan memang sudah masuk dalam area perusahaan, dan masyarakat adat bersedia tidak menuntut atas lahan yang sudah terlanjur digunakan. Namun, sekitar 2.000 Hektare lahan yang tersisa masih perlu diidentifikasi dan dikembalikan kepada masyarakat adat.

“Tadi kami sudah beri saran dan masukan. Kalau yang sudah masuk ke wilayah perusahaan, masyarakat tidak menuntut. Tapi yang tersisa sekitar 2.000 hektare itu harus diidentifikasi kembali dan dikembalikan kepada masyarakat adat agar mereka bisa memanfaatkannya untuk pembangunan dan kebutuhan ekonomi mereka,” ujar Sumadi.

Ia juga menyarankan agar masyarakat adat segera berkoordinasi dengan Kepala Kampung untuk mendata luas lahan yang belum memiliki sertifikat. Langkah ini penting untuk menentukan titik koordinat secara pasti agar tidak tumpang tindih dengan wilayah lain atau pihak ketiga.

“Kami sarankan agar masyarakat Dayak Petung segera koordinasi dengan kepala kampung, terutama untuk mengetahui seberapa luas lahan yang belum bersertifikat. Jika belum, tentukan titik koordinatnya agar ke depannya tidak menimbulkan konflik. Jika memang sudah banyak yang masuk wilayah perusahaan, kita akan koordinasikan kembali,” tambahnya.

Pada kesempatan yang sama di ruang rapat, Kepala Bidang (Kabid) Penataan Administrasi dan Sengketa Pertanahan Dinas Pertanahan (Distanah) Kabupaten Berau, Kamsiah menjelaskan bahwa pengakuan hak ulayat harus melalui prosedur resmi. Proses tersebut dimulai dari pengajuan permohonan oleh masyarakat adat kepada pemerintah kampung, untuk kemudian diteruskan kepada pemerintah daerah.

“Pemerintah daerah telah membentuk panitia identifikasi sesuai amanat Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2015. Namun, proses verifikasi tidak bisa berjalan tanpa permohonan resmi dari masyarakat adat,” kata Kamsiah.

Menurutnya, sejumlah dokumen penting harus dilengkapi, antara lain sejarah kampung, batas wilayah adat, serta struktur kelembagaan adat. Setelah itu, proses verifikasi lapangan dan administrasi dapat dilakukan.

Anggota DPRD Berau, Sutami menegaskan bahwa investasi tidak boleh mengesampingkan hak-hak masyarakat lokal. Ia menyayangkan jika sejak awal pemerintah kampung tidak menginventarisasi lahan yang telah lama digarap warga sebelum kehadiran perusahaan.

“Kami berharap ada solusi yang saling menguntungkan. Masyarakat harus mengikuti prosedur agar mendapat pengakuan resmi dari negara. Pemerintah juga harus jemput bola dan membuka diri agar persoalan serupa tidak terulang,” ujar Sutami.

RDP ini menjadi langkah awal penting dalam advokasi pengakuan hak ulayat masyarakat adat, serta memperkuat sinergi antara lembaga adat, pemerintah kampung, dan pemerintah daerah dalam penyusunan regulasi perlindungan hak ulayat secara konkret. (Irfan/Rdk/Adv).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *