TANJUNG REDEB, HARAPANPOST.COM – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur (Kaltim) terus berupaya dan melestarikan Ekosistem penyu yang terletak di Pulau Sangalaki, Kabupaten Berau.
Perlu diketahui bersama bahwa Pulau Sangalaki adalah kawasan konservasi dan bentuk Taman Wisata Alama (TWA) yang terletak di Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Yang memiliki luas sebesar 220 Hektare terdiri dari 15,9 Hektare daratan dan sisanya perairan laut. Salah satu habitat yang dilindungi di Pulau ini adalah penyu dan yang menjadi endemik adalah penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan Penyu hijau (Chelonia mydas).
Pelaksanaan Tugas (Plt) Kepala Konservasi Wilayah I Berau, yang juga sehari-harinya menjabat sebagai Kepala Sub Bagian (Kasubag) Tata Usaha (TU) BKSDA Kaltim, Dheny Mardiono, mengatakan beragam upaya terus dilakukan oleh BKSDA untuk meningkatkan serta melestarikan penyu. Salah satunya dengan patroli rutin, penjagaan kawasan bersama Polisi Hutan (Polhut), serta merelokasi telur penyu ke Hatchery atau tempat penentasan semi alami yang terancam.
“Yang pertama terancam oleh air laut, karena kalau yang bersarang pasir itu kena air laut dia pasti tidak akan menetas. Yang kedua terancam oleh pencurian itu yang kita selamatkan lalu kita tanam di Hatchery di tempat pengentasan semi alami,” ucap Dhany, Kamis (16/01/2024).
BKSDA Kaltim mencatat dari Januari hingga Desember tahun 2024 ada sekitar 4.581 ekor penyu yang mendarat di Pulau ini.
“Jadi kami memindahkan atau merelokasi telur-telur sarang penyu yang terancam oleh air laut sama predator, baik manusia maupun predator alam lainnya,” tambahnya.
Selain bekerjasama dengan Polisi Hutan (Polhut) BKSDA Kaltim juga merekrut masyarakat sekitaran Kepulauan Derawan yang lain sebagainya, yang dinamai Masyarakat Mitra Polhut (MMP) untuk membantu BKSDA dalam pelestarian telur penyu.
“Itulah adalah masyarakat yang kita rekrut untuk membantu kami untuk melakukan kegiatan pengamanan sifatnya membantu yang kita berikan honor harian,” paparnya.
Hal ini merujuk pada, Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2024 adalah perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Serta, Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 dan mencabut Pasal 33 dan Pasal 69 huruf c UU Nomor 17 Tahun 2019.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab bersama, baik pemerintah maupun masyarakat. Sehingga upaya konservasi berkelanjutan, terutama untuk kegiatan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dapat terwujud.
Dengan segala upaya yang dilakukan Dheny berharap kedepannya tidak ada lagi masyarakat yang mengkonsumsi telur penyu agar ekosistem penyu tetap terjaga dan generasi penerus dapat terus melihat penyu di Bumi Batiwakkal.
“Harapannya kedepannya masyarakat bisa membantu tidak mengkonsumsi telur penyu supaya tidak ada lagi orang yang berniat untuk mencuri,” pungkasnya. (Irfan/Rdk).